DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum.Wr.Wb
Puji syukur saya (penyusun) panjatkan kepada Allah
SWT, karena atas rahmat-Nya yang berlimpah, kami dapat menyusun makalah ini
dengan baik sesuai dengan kemampuan kami. Tidak lupa pula kami ucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada kami untuk
menyelesaikan makalah ini. Untuk selanjutnya kami mengharapkan semoga makalah
ini dapat menambah wawasan bagi kami sendiri dan juga mahasiswa yang sedang
menempuh materi ini.
Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh
dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik agar makalah ini
mendekati sempurna, kami sadar bahwa kesempurnaan hanya milik NYA.
Akhir
kata, semoga makalah yang kami susun ini berguna bagi kita semua.
Amin-amin
yarabbal ‘alamin.
Wassalamualaikum.Wr.Wb
Hormat kami,
Tim
Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
Pada Awalnya
rasulullah SAW melarang sahabat untuk menulis hadis, karena dikhawatirkan
bercampur baur penulisannya dengan Al-Qur’an. Perintah untuk melukiskan hadis
yang pertama kali oleh khalifah umar bn abdul azis. Beliau penulis surat kepada
gubernur di madinah yaitu Abu Bakar bin Muhammad bin Amr hazm al-alsory untuk
membukukan hadis. Sedangkan ulama yang pertama kali mengumpulkan hadis adalah
Arroby bin Sobiy dan Said bin Abi Arobah, akan tetapi pengumpulan hadis
tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan dhoif, dan perkataan
para sahabat).
Sebagian
orang bingung melihat jumlah pembagian hadis yang banyak dan beragam. Tetapi
kebingungan itu kemudian menjadi hilang setelah melihat pembagian hadis yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan
hanya dari satu segi pandangan saja.
Hadis
memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan yang unik dan
tersendiri. dalam makalah ini akan dikemukakan pembaian hadis dari tinjauan
kuantitas perawi. Sedangkan tinjauan mengenai kualitas akan dibahas oleh
makalah yang dibawakan oleh kelompok lain.
Untuk
mengungkapkan tinjauan pembagian hadis dari segi kuantitas jumlah para perawi
para penulis hadis pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda.
Sedangkan mereka melihat pembagian hadis dari segi bagaimana proses penyampaian
hadis dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau jumlah perawinya.
Dalam pembuatan
makalah ini kami mengangkat rumusan masalah yaitu:
A. Bagaimana Pembagian hadis dari
segi kuantitas dan kualitasnya.
Dan rumusan masalah diatas yaitu :
A. Mengetahui pembagian hadits dari segi kuantitasnya dan kualitasnya.
A. Mengetahui pembagian hadits dari segi kuantitasnya dan kualitasnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pembagian hadits berdasarkan kuantitas
Hadits
berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan
suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits mutawatir
a. Ta’rif
Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka be
rkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.
Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka be
rkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b.
Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits
(khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu
benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari
peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan
hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh
pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang
memberikan itu mencapai jumlah yang banyak
2.
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka
untuk berdusta
3. Seimbang
jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun
thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini
tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada,
tetapi jumlahnya hanya sedikit.
C.
Macam–macam hadits mutawatir
Mutawatir
lafzhi, yaitu yang sesuai lafal para perawinnya, baik dengan menggunakan satu
lafal atau lafal lain yang satu makna dan menunjukkan kepada makna yang
dimaksud secara tegas.
· Mutawatir
ma’nawi, yaitu sesuatu yang mutawatir maksud makna hadits secara konklusif,
bukan makna dari lafalnya, makna lafal boleh berbeda antara beberapa
periwaytaan perawi, tetapi maksud kesimpulannya sama.
· Mutawatir
‘amali, yaitu perbuatan dan pengalaman syari’ah silamiyah yang
dilakukan nabi secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti oleh
para sahabat.
2. Hadits ahad
a. Pengertian
hadits ahad
Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah:
Artinya:
“Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: ”
ما لم يجمع شروط المتواتر.
“Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.
’Ajjaj al-Khathib, yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut:
Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah:
Artinya:
“Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: ”
ما لم يجمع شروط المتواتر.
“Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.
’Ajjaj al-Khathib, yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut:
هو ما رواه
الواحد أ و اﻹ ثنان فاك تتوفو فيه شروط المشهور أو المتواتر.
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir . Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi pedoman penulis adalah defenisi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadis
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir . Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi pedoman penulis adalah defenisi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadis
b. Macam – macam hadits ahad
1. Hadis Masyhur.
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti “al-zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadis Masyhur menurur istilah Ilmu Hadis adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”.
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti “al-zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadis Masyhur menurur istilah Ilmu Hadis adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”.
2. Hadis ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata ’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.
Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:
أن لا يقبل رواته عن اثنين في جميع طبقا ت السند .
“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad”.
Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadis ’Aziz adalah Hadis yang perawinya tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh lebih dari dua orang, seperti tiga, empat atau lebih, dengan syarat bahwa salah satu tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk membedakan dari Hadis Msyhur.
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata ’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.
Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:
أن لا يقبل رواته عن اثنين في جميع طبقا ت السند .
“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad”.
Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadis ’Aziz adalah Hadis yang perawinya tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh lebih dari dua orang, seperti tiga, empat atau lebih, dengan syarat bahwa salah satu tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk membedakan dari Hadis Msyhur.
3. Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al- munfarid atau al- ba’id ‘an aqaribihi,6 yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari kerabatnya”.
Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
هو ما ينفرد بروايته راو واحد.
“Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad dan bahkan mungin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadis tersebut dinamakan Hadis Gharib.
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al- munfarid atau al- ba’id ‘an aqaribihi,6 yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari kerabatnya”.
Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
هو ما ينفرد بروايته راو واحد.
“Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad dan bahkan mungin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadis tersebut dinamakan Hadis Gharib.
B. PembagianHaditst Berdasakan Kualitas :
• Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Hadits Sahih
a. Syarat hadits Sahih adalah:
a. Diriwayatkan oleh perawi yang adil Maksudnya adalah tiap-tiap perawi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
b.
Kedhabitan perawinya sempurna maksudnya Periwayat itu harus memahami
dengan baik makna dan pengertian riwayat yang telah didengarnya
(diterimanya),Periwayat itu memiliki hafalan dengan baik terhadap riwayat yang
telah didengarnya itu dengan tanpa terdapat kesalahan atau kekeliruan
pengutipan redaksi kata-katanya, Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang
telah didengarnya dan dihafalnya dengan baik kapan saja dia menghendakinya.
c. Sanadnya bersambung Maksudnya adalah tiap-tiap perawi dari perawi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
c. Sanadnya bersambung Maksudnya adalah tiap-tiap perawi dari perawi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
d.
Tidak ada cacat atau illat Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya,
dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an
hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
e.
Matannya tidak syaz atau janggal Maksudnya ialah hadis itu benar-benar
tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang
terpercaya dan lainnya.
b.
Pengertian hadits shahih
Hadits
sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yng benar
berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama,
antara lain :
Artinya :
“Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
Artinya :
“Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
c. Pembagian
hadits shahih
a.Hadis Shahih
li dzati
Maksudnya
ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia
itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan
khilaf bagi orang kepercayaan.
b.
Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya
ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut
baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat
bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih
li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila
diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau
yang lebih kuat dari padanya.
2. Hadits Hasan
a. Syarat
hadits hasan adalah:
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e. Tidak ada cacat atau illat.
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e. Tidak ada cacat atau illat.
b.
Pengertian hadits hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadits hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadits hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
c.Pembagian
hadits hasan
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis
hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan
hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana
telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan
yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis
tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena
adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahidatau muttabi’),
maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi
hadis hasan li-ghairih.
3. Hadits Daif
a. Pengertian hadits daif
Hadits
daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan
yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari
Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
Jadi hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
Jadi hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
b. Pembagian
hadits dhoif
Hadist
dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena
gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi
atau matan.
a. Hadits
dhaif karena gugurnya rawi
Yang
dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang
seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada
pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan
karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1) Hadits
Mursal
Hadits
mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad.
Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang
merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW.
(penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat
dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang
terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam
sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima
langsung dari Rasulullah.
2) Hadits Munqathi’
Hadits
munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi
batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang
rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah
sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits
munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur
seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak
beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
3) Hadits
Mu’dhal
Menurut
bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang
diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang
rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
4) Hadits
mu’allaq
Menurut
bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama
tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad
atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan ( tidak disebutkan ).
b. Hadits
dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam
cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak
dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil
pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam
mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat
menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan
terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga
memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh
hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1) Hadits
Maudhu’
Menurut
bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para
ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal
dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan
pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad
permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang
munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya,
atau kebangsaannya .
Hadits
maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW
terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW
sebagai sandarannya.
“Barangsiapa
yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat
duduknya dalam neraka”.
2) Hadits
matruk atau hadits mathruh
Hadits ini,
menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama
memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh
orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun
mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak
wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang
terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin
Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin
Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan
ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan
/ dibuang.
3) Hadits
Munkar
Hadist
munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan
yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan
oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya:
“Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan
menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di
atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan
hadits yang lebih kuat.
4.) Hadits
Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal
berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini
adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang
menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya. Contoh
:Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum
berpisah”.
5) Hadits
mudraj
Hadist ini
memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian
dari hadits itu. Contoh :
Rasulullah
bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab ) bagi
orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman
surga”.
Kalimat
akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman
surga ), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6) Hadits
Maqlub
Menurut
bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa
terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau
penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh :
Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka
kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia
sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
7) Hadits
Syadz
Secara
bahasa, hadits ini berarti hadits yang ganjil. Batasan yang diberikan para
ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya,
tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah
rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan
hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan,
ataupun keduanya.
Contoh : “Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
Contoh : “Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikian
hadis dilihat dari kuantitas jumlah para perawi yang dapat menunjukkan kualitas
bagi hadis mutawatir tanpa memerisa sifat-sifat para perawi secara
individu, atau menunjukan kualitas hadis ahad, jika disertai pemeriksaan
memenuhi persyaratan standar hadis yang makbul. Hadis ahad masih memerlukan
barbagai persyaratan yaitu dari segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau
sifat-sifat yang dapat mempertanggungjawabkan kebenaran berita secara individu
yaitu sifat keadilan dank e-dhabith-an, ketersambungan sanad dan
ketidakganjilannya. Kebenaran berita hadis mutawatir secara absolute dan
pasti (qath’i), sedangkan kebenaran berita yang dibawa oleh hadis ahad bersifat
relative ( zhanni ) yang wajib diamalkan.
Hadits
berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan
suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
Berdasarkan
kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
· Hadits
sahih
· Hadits
hasan
· Hadits
dhoif
DAFTAR PUSTAKA
1) H.
Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus. Ilmu Mustholah Hadis. Jakarta:PT Hadikarya Agung.
1984. h. 96
2) Drs.
Fatchurrahman.. Ikhtishar Mushthalahu’l hadits. Bandung: PT Alma’arif, 1974. h.
150
3) M.
Yusron, S.PdI. Pohon Ilmu Hadits. http//: www.darussholah.com
4)
http://mufdil.wordpress.com/2009/08/06/hadits-maqbul-dan-hadits-mardud/#_ftn6
[1]. Ilmu hadits-DRS.Munzier
Supatra, M.A. & DRS.Utang Ranuwijaya M.A. hal : 81-86.
[2] http://www.kosmaext2010.com/makalah-ulumul-hadits-khabar-mutawatir-dan-khabar-ahad.php#more-660
Tidak ada komentar:
Posting Komentar